Dalam keremangan cahaya lentera penjara Bagumbayan,
Filipina yang kotor dan kumuh, pada malam yang dingin dan pekat, Jose Rizal,
seorang pejuang kemerdekaan negerinya Corru Aquino, berdiri dengan gelisah.
Saat itu akhir Desember 1896. Agaknya dia menyadari bahwa ajal sebentar lagi
bakan menjemputnya.
Melalui secarik kertas yang kusam, lelaki
yang berusia 35 tahun itu mengguratkan melalui ujung penanya, serentetan sajak
panjang yang berisi pesan, ucpan selamat berjuang dan selamat tinggal kepada
bangsa dan negara yang dicintainya dengan segenap jiwa raganya.
“ Mati adalah awal dari sitirahat baka “,
tulis Jose Rizal dalam “ Mi Ultimo Adios “ ny, yakni suatu untaian sajak
panjang yang indah dan mengharukan. Suatu sajak yang kelak akan menjadi buah
bibir setiap patriot bangsa dan pecinta kemerdekaan. Suatu sajak yang kemudian
jadi bahan deklamasi bagi mereka yang pikiran dan peasaannya dibakar dan
dirangsang oleh kehangatan dan kesyahduan kemerdekaan.
“ Tempat untuk mati, juga bukan soal. Siprus,
pohon salam atau pohon bakung putih mentah. Tiang gantungan atau lapangan
terbuka. Mati sahid ataupun di medan laga. Sama nilainya, jika demi Ibu Pertiwi
“ Sajak yang merupakan karya terakhirnya itu, setelah beberapa novelnya seperti
Noli Me Tangere, El Filibusterismo dan puluhan artikel perjuangan dalam berbagai
media masa yang mengutuk kebusukan pemerintah kolonial Spanyol --, dilipat dan
disembunyikannya dibalik lentera. Pagi harinya, dengan tegar dan ketenagan yang
luar biasa, dia dijemput oleh sang maut tatkala sepasukan regu tembak
pemerintah kolonial Spanyol, memberondong tubuhnya dengan butiran-butiran
peluru pencabut nyawa. Ketenangan dan ketegaran yang dimilikinya, agaknya
adalah karena keyakinan yang dimilikinya. Suatu keyakinan yang teguh, seperti
yang dikatakannya sendiri dalam baris-baris indah sajaknya, “ Aku pergi ke
daerah tanpa budak, tanpa algojo dan tanpa penindasan. Suatu tempat, di mana
keyakinan mustahil dibunuh, yaknik tempat Sang Maha Pencipta berdaulat abadi “
Memang Sang Pejuang boleh gugur memeluk bumi.
Akan tetapi ide, pesan dan gagasan diguratkan melalui ketajaman ujung pena,
akan menjadi suatu karya yang seakan abadi, mengembara kemana-mana. Bahkan
kemudian mampu menyemangati sepak terjang bangsanya guna meraih cita-cita
kemerdekaan.
Jose Rizal ( 1861 – 1896 ) yang kini
patungnya berdiri dengan megah di taman Luneta, Bagumbayan, Filipina, memang
seorang yang luar biasa. Dia adalah seorang dokter, novelis, sastrawan,
politikus dan pendiri Liga Filipina yang bergerak di bidang pendidikan. Tak
keliru bila pada suatu saat Bung- Karno pernah menyebutnya sebagai Bapak
Nasionalis bangsa Filipina.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar