Kamis, 13 Februari 2014

DENGAN UJUNG PENA MERINTIS JALAN KE ARAH KEMERDEKAAN




 
Dalam keremangan cahaya lentera penjara Bagumbayan, Filipina yang kotor dan kumuh, pada malam yang dingin dan pekat, Jose Rizal, seorang pejuang kemerdekaan negerinya Corru Aquino, berdiri dengan gelisah. Saat itu akhir Desember 1896. Agaknya dia menyadari bahwa ajal sebentar lagi bakan menjemputnya. 

Melalui secarik kertas yang kusam, lelaki yang berusia 35 tahun itu mengguratkan melalui ujung penanya, serentetan sajak panjang yang berisi pesan, ucpan selamat berjuang dan selamat tinggal kepada bangsa dan negara yang dicintainya dengan segenap jiwa raganya.

“ Mati adalah awal dari sitirahat baka “, tulis Jose Rizal dalam “ Mi Ultimo Adios “ ny, yakni suatu untaian sajak panjang yang indah dan mengharukan. Suatu sajak yang kelak akan menjadi buah bibir setiap patriot bangsa dan pecinta kemerdekaan. Suatu sajak yang kemudian jadi bahan deklamasi bagi mereka yang pikiran dan peasaannya dibakar dan dirangsang oleh kehangatan dan kesyahduan kemerdekaan.

“ Tempat untuk mati, juga bukan soal. Siprus, pohon salam atau pohon bakung putih mentah. Tiang gantungan atau lapangan terbuka. Mati sahid ataupun di medan laga. Sama nilainya, jika demi Ibu Pertiwi “ Sajak yang merupakan karya terakhirnya itu, setelah beberapa novelnya seperti Noli Me Tangere, El Filibusterismo dan puluhan artikel perjuangan dalam berbagai media masa yang mengutuk kebusukan pemerintah kolonial Spanyol --, dilipat dan disembunyikannya dibalik lentera. Pagi harinya, dengan tegar dan ketenagan yang luar biasa, dia dijemput oleh sang maut tatkala sepasukan regu tembak pemerintah kolonial Spanyol, memberondong tubuhnya dengan butiran-butiran peluru pencabut nyawa. Ketenangan dan ketegaran yang dimilikinya, agaknya adalah karena keyakinan yang dimilikinya. Suatu keyakinan yang teguh, seperti yang dikatakannya sendiri dalam baris-baris indah sajaknya, “ Aku pergi ke daerah tanpa budak, tanpa algojo dan tanpa penindasan. Suatu tempat, di mana keyakinan mustahil dibunuh, yaknik tempat Sang Maha Pencipta berdaulat abadi “

Memang Sang Pejuang boleh gugur memeluk bumi. Akan tetapi ide, pesan dan gagasan diguratkan melalui ketajaman ujung pena, akan menjadi suatu karya yang seakan abadi, mengembara kemana-mana. Bahkan kemudian mampu menyemangati sepak terjang bangsanya guna meraih cita-cita kemerdekaan.

Jose Rizal ( 1861 – 1896 ) yang kini patungnya berdiri dengan megah di taman Luneta, Bagumbayan, Filipina, memang seorang yang luar biasa. Dia adalah seorang dokter, novelis, sastrawan, politikus dan pendiri Liga Filipina yang bergerak di bidang pendidikan. Tak keliru bila pada suatu saat Bung- Karno pernah menyebutnya sebagai Bapak Nasionalis bangsa Filipina.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar