Sabtu, 15 Februari 2014

SEJARAH PERJALANAN PERS DI DINDONESIA




KEGIATAN SUWARDI SURYANINGRAT ( KI HAJAR DEWANTARA ) DENGAN PERS.

Dalam sejarah Pers di tanah air kita telah tercatat pertama kali didirikan surat kabar Medan Priyayi yang terbit tahun 1907 di Bandung . Medan Priyayi ini diterbitkan oleh para wartawan pribumi RM Tirto Adisuryo . Jadi cikal bakal berdirinya Pers nasional itu terjadi setelah organisasi Budi Utomo berdiri. 

Dan pada tahun 1909 Dr.Douwes Dekker sempat mencatat, bahwa ketika itu ada 34 majalah dan surat kabar yang dikelola oleh pribumi dan dari tahun ke tahun jumlahnya semakin banyak. Surat kabar dan majalah yang segera mulailah bermunculan seperti Sarotama ( 1913 )terbit di Surakarta, Boemi Poetra ( 1909 ) terbit di Jakarta. Oetoesan Hindia ( 1912 ) terbit di Surabaya, Perwata Deli ( 1910 ) terbit di Medan, Hindia Serikat ( 1912 ) dan Kaoem Moeda ( 1912 ) terbit di Bandung dan masih banyak lagi.

Suwardi Suryaningrat sebagai wartawan muda di Bandung ikut memberikan warna dan watak pada pers nasional ( baca: pribumi ) yang ketika itu sedang tumbuh. Beliau sebagai wartawan pada surat kabar De Express di Bandung, mulai banyak bergaul dengan sesama rekan wartawan pribumi seperti Abdul Muis dan Wignyadisastra. Wignyadisastra ini adalah wartawan Kaoem Moeda dan Abdul Muis wartawan dari Preanger Bode.

Hubungan Abdul Muis, Wignyadisastra dan Suwardi Suryaningrat terus berlanjut sampai akhirnya mereka bertiga mendirikan sebuah majalah yang berbahasa Belanda-Melayu, yaitu Hindia Serikat. Tulisan Suwardi Suryaningrat sebagai wartawan dengan nama SS dan kupasan dalam esensei-esenseinya tajam menggigit. DA Rinkers, penasehat Gubernur Jenral Idenburg untuk urusan Bumi Putra, mencatat bahwa tulisan-tulisan Suwardi Suryaningrat sangat keras dan radikal.

Puncak karir Suwardi Suryaningrat sebagai wartawan pejuang adalah tatkala beliau menulis sebuah risalah yang berjudul “ Andaikata Aku Seorang Belanda” ( Als ik eens Nederkander was ). Dan risalah ini telah kita ketahui bersama, merupakan risalah yang amat terkenal sampai saat ini, karena berisi sindiran yang tajam sekali pada kebusukan pemerintah kolonial Belanda. Risalah ini diterbitkan pada bulan Juli 1913. Maksudnya untuk memprotes kebijakan pemerintah Kolonial Belanda yang akan merayakan kemerdekaan negeri Belanda dari penjajahan Perancis. 

Akan tetapi di Negeri Belanda perayaan kemerdekaan itu justru dilaksanakan di atas beban penderitaan rakyat yang terjajah. Bagai gaung yang saling bersautan, risalah Suwardi Suryaningrat ini disusul tulisan Dr Cipto Mangoenkoesoemo pada De Express tanggal 26 Juli 1913 yang berjudul, “ Kekuatan atau Ketakutan ? “ ( Krach of Vrees ? ). Dan dua hari kemudian Suwardi Suryaningrat menyusulnya dengan tulisan dalam De Express 28 Juli 1913 yang berjudul

 “ Satu untuk semua dan semua untuk satu “ ( Een voor Allen – maar ook Allen voor een ). Dan pada tanggal 5 Agustus 1913 Douwes Dekker pun tidak ketinggalan menurunkan tulisan dengan kritik yang tajam dalam De Express yang berisi memuji keberanian Suwardi dan Dr.Cipto dengan judul “ Pahlawan kita : Cipto Mangoenkoesoemo dan Suwardi Suryaningrat “.

Akibat tulisan-tulisan itu udara kota bandung yang terkenal sejuk dan dingin, mendadak berubah seakan-akan suhunya naik .Kesabaran pemerintah kolonial Belanda telah mencapai puncaknya. Mereka bertiga ( Suwardi Suryaningrat, Douwes Dekker dan Dr.Cipto Mangoenkoesoemo ) ditangkap. Dan kisah selanjutnya kita semua sudah tahu. Akhirnya mereka diadili dan dijatuhi hukuman externir ke negeri Belanda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar