KEGIATAN SUWARDI SURYANINGRAT
( KI HAJAR DEWANTARA ) DENGAN PERS.
Dalam sejarah Pers di tanah
air kita telah tercatat pertama kali didirikan surat kabar Medan Priyayi yang
terbit tahun 1907 di Bandung . Medan Priyayi ini diterbitkan oleh para wartawan
pribumi RM Tirto Adisuryo . Jadi cikal bakal berdirinya Pers nasional itu
terjadi setelah organisasi Budi Utomo berdiri.
Dan pada tahun 1909 Dr.Douwes
Dekker sempat mencatat, bahwa ketika itu ada 34 majalah dan surat kabar yang
dikelola oleh pribumi dan dari tahun ke tahun jumlahnya semakin banyak. Surat
kabar dan majalah yang segera mulailah bermunculan seperti Sarotama ( 1913
)terbit di Surakarta, Boemi Poetra ( 1909 ) terbit di Jakarta. Oetoesan Hindia
( 1912 ) terbit di Surabaya, Perwata Deli ( 1910 ) terbit di Medan, Hindia
Serikat ( 1912 ) dan Kaoem Moeda ( 1912 ) terbit di Bandung dan masih banyak
lagi.
Suwardi Suryaningrat sebagai
wartawan muda di Bandung ikut memberikan warna dan watak pada pers nasional (
baca: pribumi ) yang ketika itu sedang tumbuh. Beliau sebagai wartawan pada
surat kabar De Express di Bandung, mulai banyak bergaul dengan sesama rekan
wartawan pribumi seperti Abdul Muis dan Wignyadisastra. Wignyadisastra ini
adalah wartawan Kaoem Moeda dan Abdul Muis wartawan dari Preanger Bode.
Hubungan Abdul Muis,
Wignyadisastra dan Suwardi Suryaningrat terus berlanjut sampai akhirnya mereka
bertiga mendirikan sebuah majalah yang berbahasa Belanda-Melayu, yaitu Hindia
Serikat. Tulisan Suwardi Suryaningrat sebagai wartawan dengan nama SS dan kupasan
dalam esensei-esenseinya tajam menggigit. DA Rinkers, penasehat Gubernur Jenral
Idenburg untuk urusan Bumi Putra, mencatat bahwa tulisan-tulisan Suwardi
Suryaningrat sangat keras dan radikal.
Puncak karir Suwardi
Suryaningrat sebagai wartawan pejuang adalah tatkala beliau menulis sebuah
risalah yang berjudul “ Andaikata Aku Seorang Belanda” ( Als ik eens
Nederkander was ). Dan risalah ini telah kita ketahui bersama, merupakan
risalah yang amat terkenal sampai saat ini, karena berisi sindiran yang tajam sekali
pada kebusukan pemerintah kolonial Belanda. Risalah ini diterbitkan pada bulan
Juli 1913. Maksudnya untuk memprotes kebijakan pemerintah Kolonial Belanda yang
akan merayakan kemerdekaan negeri Belanda dari penjajahan Perancis.
Akan tetapi
di Negeri Belanda perayaan kemerdekaan itu justru dilaksanakan di atas beban
penderitaan rakyat yang terjajah. Bagai gaung yang saling bersautan, risalah
Suwardi Suryaningrat ini disusul tulisan Dr Cipto Mangoenkoesoemo pada De
Express tanggal 26 Juli 1913 yang berjudul, “ Kekuatan atau Ketakutan ? “ (
Krach of Vrees ? ). Dan dua hari kemudian Suwardi Suryaningrat menyusulnya
dengan tulisan dalam De Express 28 Juli 1913 yang berjudul
“ Satu untuk semua dan semua untuk satu “ (
Een voor Allen – maar ook Allen voor een ). Dan pada tanggal 5 Agustus 1913
Douwes Dekker pun tidak ketinggalan menurunkan tulisan dengan kritik yang tajam
dalam De Express yang berisi memuji keberanian Suwardi dan Dr.Cipto dengan
judul “ Pahlawan kita : Cipto Mangoenkoesoemo dan Suwardi Suryaningrat “.
Akibat tulisan-tulisan itu
udara kota bandung yang terkenal sejuk dan dingin, mendadak berubah seakan-akan
suhunya naik .Kesabaran pemerintah kolonial Belanda telah mencapai puncaknya.
Mereka bertiga ( Suwardi Suryaningrat, Douwes Dekker dan Dr.Cipto
Mangoenkoesoemo ) ditangkap. Dan kisah selanjutnya kita semua sudah tahu.
Akhirnya mereka diadili dan dijatuhi hukuman externir ke negeri Belanda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar